Biografi Mohammad Hatta, Sang Proklamator Indonesia

watch_later
comment 2 Comments

Mohammad Hatta yang populer sebagai Bung Hatta, lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, 12 Agustus 1902 – meninggal di Jakarta, 14 Maret 1980 pada umur 77 tahu. Bung Hatta  adalah pejuang, negarawan, dan juga Wakil Presiden Indonesia yang pertama. Ia mundur dari jabatan wakil presiden pada tahun 1956, karena berselisih dengan Presiden Soekarno. Hatta dikenal sebagai Bapak Koperasi Indonesia. Bandar udara internasional Jakarta menggunakan namanya sebagai penghormatan terhadap jasanya sebagai salah seorang proklamator kemerdekaan Indonesia.

Nama yang diberikan oleh orangtuanya ketika dilahirkan adalah Muhammad Athar. Anak perempuannya bernama Meutia Hatta menjabat sebagai Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dalam Kabinet Indonesia Bersatu pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ia dimakamkan di Tanah Kusir, Jakarta.

Hatta lahir dari keluarga ulama Minangkabau, Sumatera Barat. Ia menempuh pendidikan dasar di Sekolah Melayu, Bukittinggi, dan pada tahun 1913-1916 melanjutkan studinya ke Europeesche Lagere School (ELS) di Padang. Saat usia 13 tahun, sebenarnya ia telah lulus ujian masuk ke HBS (setingkat SMA) di Batavia (kini Jakarta), namun ibunya menginginkan Hatta agar tetap di Padang dahulu, mengingat usianya yang masih muda. Akhirnya Bung Hatta melanjutkan studi ke MULO di Padang. Baru pada tahun 1919 ia pergi ke Batavia untuk studi di Sekolah Tinggi Dagang “Prins Hendrik School”. Ia menyelesaikan studinya dengan hasil sangat baik, dan pada tahun 1921, Bung Hatta pergi ke Rotterdam, Belanda untuk belajar ilmu perdagangan/bisnis di Nederland Handelshogeschool (bahasa inggris: Rotterdam School of Commerce, kini menjadi Universitas Erasmus). Di Belanda, ia kemudian tinggal selama 11 tahun.

Pada tangal 27 November 1956, Bung Hatta memperoleh gelar kehormatan akademis yaitu Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Hukum dari Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta. Pidato pengukuhannya berjudul “Lampau dan Datang”.


Saat berusia 15 tahun, Hatta merintis karir sebagai aktivis organisasi, sebagai bendahara Jong Sumatranen Bond Cabang Padang. Kesadaran politik Hatta makin berkembang karena kebiasaannya menghadiri ceramah-ceramah atau pertemuan-pertemuan politik. Salah seorang tokoh politik yang menjadi idola Hatta ketika itu ialah Abdul Moeis. Di Batavia, ia juga aktif di Jong Sumatranen Bond Pusat sebagai Bendahara. Ketika di Belanda ia bergabung dalam Perhimpunan Hindia (Indische Vereeniging). Saat itu, telah berkembang iklim pergerakan di Indische Vereeniging. Sebelumnya, Indische Vereeniging yang berdiri pada 1908 tak lebih dari ajang pertemuan pelajar asal tanah air. Atmosfer pergerakan mulai mewarnai Indische Vereeniging semenjak tibanya tiga tokoh Indische Partij (Suwardi Suryaningrat, Ernest Douwes Dekker, dan Tjipto Mangunkusumo) di Belanda pada 1913 sebagai orang buangan akibat tulisan-tulisan tajam anti-pemerintah mereka di media massa.

Perjuangan

Saat berusia 15 tahun, Hatta merintis karir sebagai aktivis organisasi, sebagai bendahara Jong Sumatranen Bond (JSB) Cabang Padang. Di kota ini Hatta mulai menimbun pengetahuan perihal perkembangan masyarakat dan politik, salah satunya lewat membaca berbagai koran, bukan saja koran terbitan Padang tetapi juga Batavia. Lewat itulah Hatta mengenal pemikiran Tjokroaminoto dalam surat kabar Utusan Hindia, dan Agus Salim dalam Neratja.
Kesadaran politik Hatta makin berkembang karena kebiasaannya menghadiri ceramah-ceramah atau pertemuan-pertemuan politik. Salah seorang tokoh politik yang menjadi idola Hatta ketika itu ialah Abdul Moeis. “Aku kagum melihat cara Abdul Moeis berpidato, aku asyik mendengarkan suaranya yang merdu setengah parau, terpesona oleh ayun katanya. Sampai saat itu aku belum pernah mendengarkan pidato yang begitu hebat menarik perhatian dan membakar semangat,” aku Hatta dalam Memoir-nya. Itulah Abdul Moeis: pengarang roman Salah Asuhan; aktivis partai Sarekat Islam; anggota Volksraad; dan pegiat dalam majalah Hindia Sarekat, koran Kaoem Moeda, Neratja, Hindia Baroe, serta Utusan Melayu dan Peroebahan.


Pada usia 17 tahun, Hatta lulus dari sekolah tingkat menengah (MULO). Lantas ia bertolak ke Batavia untuk melanjutkan studi di Sekolah Tinggi Dagang Prins Hendrik School. Di sini, Hatta mulai aktif menulis. Karangannya dimuat dalam majalah Jong Sumatera, “Namaku Hindania!” begitulah judulnya. Berkisah perihal janda cantik dan kaya yang terbujuk kawin lagi. Setelah ditinggal mati suaminya, Brahmana dari Hindustan, datanglah musafir dari Barat bernama Wolandia, yang kemudian meminangnya. “Tapi Wolandia terlalu miskin sehingga lebih mencintai hartaku daripada diriku dan menyia-nyiakan anak-anakku,” rutuk Hatta lewat Hindania.

Pemuda Hatta makin tajam pemikirannya karena diasah dengan beragam bacaan, pengalaman sebagai Bendahara JSB Pusat, perbincangan dengan tokoh-tokoh pergerakan asal Minangkabau yang mukim di Batavia, serta diskusi dengan temannya sesama anggota JSB: Bahder Djohan. Saban Sabtu, ia dan Bahder Djohan punya kebiasaan keliling kota. Selama berkeliling kota, mereka bertukar pikiran tentang berbagai hal mengenai tanah air. Pokok soal yang kerap pula mereka perbincangkan ialah perihal memajukan bahasa Melayu. Untuk itu, menurut Bahder Djohan perlu diadakan suatu majalah. Majalah dalam rencana Bahder Djohan itupun sudah ia beri nama Malaya. Antara mereka berdua sempat ada pembagian pekerjaan. Bahder Djohan akan mengutamakan perhatiannya pada persiapan redaksi majalah, sedangkan Hatta pada soal organisasi dan pembiayaan penerbitan. Namun, “Karena berbagai hal cita-cita kami itu tak dapat diteruskan,” kenang Hatta lagi dalam Memoir-nya.

Selama menjabat Bendahara JSB Pusat, Hatta menjalin kerjasama dengan percetakan surat kabar Neratja. Hubungan itu terus berlanjut meski Hatta berada di Rotterdam, ia dipercaya sebagai koresponden. Suatu ketika pada medio tahun 1922, terjadi peristiwa yang mengemparkan Eropa, Turki yang dipandang sebagai kerajaan yang sedang runtuh (the sick man of Europe) memukul mundur tentara Yunani yang dijagokan oleh Inggris. Rentetan peristiwa itu Hatta pantau lalu ia tulis menjadi serial tulisan untuk Neratja di Batavia. Serial tulisan Hatta itu menyedot perhatian khalayak pembaca, bahkan banyak surat kabar di tanah air yang mengutip tulisan-tulisan Hatta.

Hatta mulai menetap di Belanda semenjak September 1921. Ia segera bergabung dalam Perhimpunan Hindia (Indische Vereeniging). Saat itu, telah tersedia iklim pergerakan di Indische Vereeniging. Sebelumnya, Indische Vereeniging yang berdiri pada 1908 tak lebih dari ajang pertemuan pelajar asal tanah air. Atmosfer pergerakan mulai mewarnai Indische Vereeniging semenjak tibanya tiga tokoh Indische Partij (Suwardi Suryaningrat, Douwes Dekker, dan Tjipto Mangunkusumo) di Belanda pada 1913 sebagai eksterniran akibat kritik mereka lewat tulisan di koran De Expres. Kondisi itu tercipta, tak lepas karena Suwardi Suryaningrat (Ki Hadjar Dewantara) menginisiasi penerbitan majalah Hindia Poetra oleh Indische Vereeniging mulai 1916. Hindia Poetra bersemboyan “Ma’moerlah Tanah Hindia! Kekallah Anak-Rakjatnya!” berisi informasi bagi para pelajar asal tanah air perihal kondisi di Nusantara, tak ketinggalan pula tersisip kritik terhadap sikap kolonial Belanda.


Di Indische Vereeniging, pergerakan putra Minangkabau ini tak lagi tersekat oleh ikatan kedaerahan. Sebab Indische Vereeniging berisi aktivis dari beragam latar belakang asal daerah. Lagipula, nama Indische –meski masih bermasalah– sudah mencerminkan kesatuan wilayah, yakni gugusan kepulauan di Nusantara yang secara politis diikat oleh sistem kolonialisme belanda. Dari sanalah mereka semua berasal.

Hatta mengawali karir pergerakannya di Indische Vereeniging pada 1922, lagi-lagi, sebagai Bendahara. Penunjukkan itu berlangsung pada 19 Februari 1922, ketika terjadi pergantian pengurus Indische Vereeniging. Ketua lama dr. Soetomo diganti oleh Hermen Kartawisastra. Momentum suksesi kala itu punya arti penting bagi mereka di masa mendatang, sebab ketika itulah mereka memutuskan untuk mengganti nama Indische Vereeniging menjadi Indonesische Vereeniging dan kelanjutannya mengganti nama Nederland Indie menjadi Indonesia. Sebuah pilihan nama bangsa yang sarat bermuatan politik. Dalam forum itu pula, salah seorang anggota Indonesische Vereeniging mengatakan bahwa dari sekarang kita mulai membangun Indonesia dan meniadakan Hindia atau Nederland Indie.
  • Pada tahun 1927, Hatta bergabung dengan Liga Menentang Imperialisme dan Kolonialisme di Belanda, dan di sinilah ia bersahabat dengan nasionalis India, Jawaharlal Nehru. Aktivitasnya dalam organisasi ini menyebabkan Hatta ditangkap pemerintah Belanda. Hatta akhirnya dibebaskan, setelah melakukan pidato pembelaannya yang terkenal: Indonesia Free.
  • Pada tahun 1932 Hatta kembali ke Indonesia dan bergabung dengan organisasi Club Pendidikan Nasional Indonesia yang bertujuan meningkatkan kesadaran politik rakyat Indonesia melalui proses pelatihan-pelatihan. Belanda kembali menangkap Hatta, bersama Soetan Sjahrir, ketua Club Pendidikan Nasional Indonesia pada bulan Februari 1934. Hatta diasingkan ke Digul dan kemudian ke Banda selama 6 tahun.
  • Pada tahun 1945, Hatta secara aklamasi diangkat sebagai wakil presiden pertama RI, bersama Bung Karno yang menjadi presiden RI sehari setelah ia dan bung karno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Oleh karena peran tersebut maka keduanya disebut Bapak Proklamator Indonesia.
Kehidupan pribadi
Hatta menikah dengan Rahmi Rachim pada tanggal 18 Nopember 1945 di Megamendung, Bogor, Jawa Barat. Mereka mempunyai tiga orang putri, yaitu Meutia Farida, Gemala Rabi’ah, dan Halida Nuriah. Dua orang putrinya yang tertua telah menikah. Yang pertama dengan Dr. Sri-Edi Swasono dan yang kedua dengan Drs. Mohammad Chalil Baridjambek. Hatta sempat menyaksikan kelahiran dua cucunya, yaitu Sri Juwita Hanum Swasono dan Mohamad Athar Baridjambek.

Ketokohan Bung hatta


Beliau Proklamator Kemerdekaan RI, bersama Bung Karno, berani membubuhkan tanda tangannya pada naskah proklamasi yang mengantarkan kita menjadi bangsa merdeka dan berdaulat, sejajar dengan bangsa-bangsa di dunia. Beliau adalah Bapak Bangsa Sejati.
Keberanian membubuhkan tanda tangan itu bukan tanpa risiko. Oleh penjajah, mereka bisa dituduh sebagai pemimpin pemberontakan, makar, penggulingan kekuasaan, bahkan kemungkinan akan dinyatakan sebagai penjahat perang. Sehingga tak heran bila ketika itu ada tokoh pergerakan kemerdekaan yang secara terang-terangan menolak untuk membubuhkan tanda tangan.

Meskipun Jepang telah takluk dalam Perang Pasifik dan PD II, tetapi Jepang masih belum memberikan kemerdekaan kepada rakyat Indonesia. Di lain pihak, Belanda yang telah lama menjajah kepulauan nusantara dan hanya 3,5 tahun diselingi Jepang, masih bernafsu untuk kembali menduduki bekas koloninya. Maka, bila rakyat Indonesia tidak bisa bertahan dan mempertahankan kemerdekaan, Bung Karno dan Bung Hatta-lah yang paling dianggap bertanggung jawab atas segala kekacauan dan peralihan kekuasaan pemerintahan secara illegal.

Tetapi Bung Karno dan Bung Hatta telah yakin pada diri mereka, bangsa Indonesia telah sadar akan arti pentingnya kemerdekaan. Bangsa Indonesia akan mempertahankan kemerdekaan, bukan hanya untuk menyelamatkan mereka berdua, tetapi menyelamatkan kebebasan dan kesempatan hidup berbangsa dan bernegara secara berdaulat.


Menyelamatkan harga diri bangsa. Proklamasi kemerdekaan adalah ungkapan paling lantang akan semangat besar untuk hidup sebagai bangsa yang berdiri sendiri dan tidak dikangkangi penjajah. Proklamasi kemerdekaan, itulah hadiah terbesar yang diterima bangsa Indonesia dari dua tokoh besar yang lahir satu abad silam.

Memperingati 100 tahun Bung Hatta, yang dilahirkan di Bukittinggi, 12 Agustus 1902 diwarnai dengan berbagai seruan untuk meneladani moralitas Bung Hatta. Berbagai media massa mengkampanyekan paling tidak tiga nilai baik Bung Hatta, santun, jujur, dan hemat. Nilai-nilai yang menjadi kepribadian Bung Hatta itu sampai sekarang tentu masih sangat relevan untuk dilaksanakan.  Sepanjang hidupnya, Bung Hatta berperilaku senantiasa menampilkan sikap yang santun terhadap siapa pun. Baik kawan maupun lawan. Terhadap Bung Karno yang pada masa sebelum kemerdekaan melakukan kerja sama cukup erat namun kemudian mereka tidak dapat bekerja sama secara politik, tetapi sebagai sesama manusia, Bung Hatta masih menghormatinya. Ketika Bung Karno sakit, Bung Hatta menengoknya. Demikian pula sebaliknya. Kesantunan menjadi sikap dalam hidupnya untuk saling menghargai.

Bila ada pejabat negara yang paling jujur, semua orang Indonesia akan menyebut nama Bung Hatta. Bukan hanya jujur, tetapi ia juga uncorruptable. Tak terkorupsikan, demikian menurut Jacob Utama, Pemimpin Umum harian Kompas. Kejujuran hatinya membuat dia tidak rela untuk menodainya melakukan tindak korupsi.

Padahal, pejabat lain melakukan hal buruk itu. Kalau saja ia mau melakukan korupsi, barangkali bukan hanya sepatu merek Bally yang mampu dibelinya. Bisa saja ia memiliki saham di pabrik sepatu dan berganti-ganti sepatu baru setiap hari. Tetapi, ia tidak melakukan semua itu. Ia hanya menyelipkan potongan iklan sepatu Bally yang tidak terbelinya hingga akhir hayat. Bila dilihat pada kondisi sekarang, seharusnya masa lalu juga demikian, tentu hal ini merupakan sebuah tragedi.

Seorang mantan wakil presiden, orang yang menandatangani proklamasi kemerdekaan, orang yang memimpin delegasi perundingan dengan Belanda –negara yang pernah menjajahnya—hingga Belanda mau mengakui kedaulatan Indonesia, ternyata tidak mampu hanya untuk sekadar membeli sepasang sepatu bermerek terkenal. Bahkan, dalam berbagai versi disebutkan, untuk membayar rekening air dan listrik, Bung Hatta yang mengandalkan hidupnya dari uang pensiunan seorang wakil presiden ternyata tidak cukup. Apalagi untuk membeli keperluan lain, seperti sepatu, yang dianggap oleh dirinya sebagai pemenuhan kebutuhan pribadi. Ia masih memikirkan kehidupan keluarga, istri dan tiga orang anaknya.

Sampai akhir hayatnya Bung Hatta dikenal sebagai orang yang tetap sederhana. Dengan pengalaman dan pergaulannya yang sangat luas, serta memiliki pemahaman yang mendalam di bidang ekonomi, hukum, pemerintahan, rasanya tidak akan sulit bagi Bung Hatta untuk berlaku tidak sederhana. Ia bisa menjadi orang yang kaya secara materi, dan tidak perlu merasakan kesulitan dalam hidupnya. Tetapi, visi keneragarawannya mengatakan dia harus menjaga simbol kenegaraan. Bukan untuk dirinya sindiri.

Maka, ia menikmati hidup dari uang pensiun. Dengan jumlah yang tidak seberapa, namun mampu melaksanakan gaya hidup yang hemat, uang pensiun itu “cukup” menghidupinya sekeluarga. Bagi Bung Hatta, tentu saja sangat mudah menerima tawaran bekerja dari berbagai perusahaan, baik lokal maupun internasional. Tetapi, bagaimana dengan citra wakil presiden. Bagaimana mungkin seorangmantan wakil presiden menjadi konsultan perusahaan A. Apakah hal itu tidak memunculkan bias dalam persaingan usaha, mengingat hebatnya pengalaman Bung Hatta? Inilah yang Bung Hatta hindari. Ia ingin menjaga nama baik. Bukan hanya dirinya sendiri, tetapi nama baik bangsa dan negara.

Dalam catatan yang ditulis Meutia Farida Hatta Swasono, putri sulung Bung Hatta, keluarga Bung Hatta memang bukan keluarga yang mengejar kemewahan hidup. Bukan hanya Bung Hatta yang memiliki pikiran dan sikap demikian, juga istrinya Ny Rahmi Hatta. “Kita sudah cukup hidup begini, yang kita miliki hanya nama baik, itu yang harus kita jaga terus,” tulis Meutia menirukan kata ibunya (Kompas, 9/8/2002).

Sebagai orang yang memiliki kesempatan memperoleh pendidikan lebih tinggi dibanding saudara-saudaranya sebangsa dan setanah air, Hatta merasa memiliki kewajiban untuk ikut menyebarkan pemikiran dan pemahaman, terutama dalam hal kehidupan dalam sebuah negara merdeka. Ia banyak menulis tentang bagaimana sengsaranya rakyat yang hidup dalam jajahan bangsa lain. Sebaliknya, bangsa yang menjajah hanya tinggal menikmati hasil dari keringat rakyat yang dijajah. Dalam sistem ini, secara tegas Hatta tidak melihat adanya keadilan.
Untuk menyadarkan rakyat akan pentingnya arti kemerdekaan, bukan hal yang mudah. Jauh lebih sulit lagi ketika harus menjelaskan apa yang boleh diperbuat dan apa yang tidak boleh dilakukan ketika sudah merdeka. Rakyat Indonesia harus memiliki kesamaan pandang dalam menatap masa depan. Untuk itu rakyat perlu dididik. Yang paling mendasar adalah mereka bebas dari buta huruf, baca dan tulis.

Sehingga pengetahuan mereka akan terus terbuka dengan membaca berbagai informasi yang beragam. Diharapkan nantinya akan muncul pemahaman yang baik mengenai perjalanan mengisi kemerdekaan. Tentu, membaca tidak akan berguna banyak bila tidak ada bahan bacaan. Maka, Bung Hatta secara konsisten membuat tulisan yang menggugah semangat kemerdekaan, mewujudkan cita-cita negara setelah kemerdekaan, mengelola negara dengan baik agar tidak malah menyusahkan rakyat di era yang sudah merdeka, meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan berbagai tulisan lainnya.

Antara tulisan dan perbuatan Bung Hatta dengan sikap dan tindakannya tidak terjadi pertentangan. Ia adalah orang yang konsisten menjalankan sikap yang telah diambilnya. Tak perlu heran ketika tiba-tiba Bung Hatta mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden RI pada 1 Desember 1956, karena merasa tidak cocok lagi Bung Karno yang menjadi presiden. Ia menganggap Bung Karno sudah mulai meninggalkan demokrasi dan ingin memimpin segalanya. Sebagai pejuang demokrasi, ia tidak bisa menerima perilaku Bung Karno. Padahal, rakyat telah memilh sistem demokrasi yang mensyaratkan persamaan hak dan kewajiban bagi semua warga negara dan dihormatinya supremasi hukum.

Bung Karno mencoba berdiri di atas semua itu dengan alasan rakyat perlu dipimpin dalam memahami demokrasi dengan benar. Jelas, bagi Bung Hatta ini adalah sebuah contradictio in terminis. Di satu sisi ingin mewujudkan demokrasi, sedangkan di sisi lain duduk di atas demokrasi. Pembicaraan, teguran, dan peringatan terhadap Bung Karno, sahabatnya sejak masa perjuangan kemerdekaan, telah dilakukan. Tetapi, Bung Karno todak berubah sikap. Hatta pun tidak menyesuaikan sikap dengan Bung Karno. Karena merasa tidak mungkin lagi menjalin kerja sama, akhirnya Bung Hatta memilih mengundurkan diri dan memberi kesempatan kepada Bung Karno untuk membuktikan konsepsinya.

Publik kemudian tahu, konsepsi Bung Karno ternyata mampu dimanfaatkan dengan baik oleh PKI dan Bung Karno jatuh dari kursi presiden secara menyakitkan. Namun, hal iu ternyata tidak berarti kesempatan akan diberikan kepada Hatta untuk membuktikan konsepsinya yang berbeda dengan Bung Karno. Hatta tak pernah kembali ke posisi eksekutif bangsa. Meskipun demikian, semua itu tidak mengurangi hasa hormat bangsa Indonesia pada Bung Hatta sebagai orang besar yang berjasa besar terhadap bangsa ini.

Bung Hatta memang tidak pernah menjadi presiden republik ini meski bila ditinjau dari jasa, pengetahuan, peran, dan risiko yang diambilnya, ia layak untuk menduduki jabatan itu. Kesempatan memang tidak datang padanya. Tetapi, ia telah menjadi bapak bangsa dengan moralitas tinggi. Ia adalah cermin dari tokoh yang lurus dan bersih serta memiliki nama baik yang senantiasa dijaganya. Sampai kini, nama Bung Hatta tetap baik dan harum di sanubari Bangsa Indonesia.

Perpustakaan

Perpustakaan Bung Hatta memiliki lebih dari 8.000 buku, terdiri dari Sejarah, Budaya, Politik, Bahasa dan lain-lain. Hal inilah yang turut menyumbang kemampuan Beliau dalam berdiplomasi utnuk memperjuangkan Kemerdekaan Republik Indonesia

sumber http://korananakindonesia.wordpress.com/2009/12/07/pahlawan-indonesia-mohammad-hatta/
avatar
Anonim

Izinkanlah saya menulis / menebar sejumlah doa, semoga Allaah SWT mengabulkan. Aamiin yaa Allaah yaa rabbal ‘alamiin.

Lebih dan kurang saya mohon maaf.

Asyhaduu anlaa ilaaha illallaah wa asyhaduu anna muhammadarrasuulullaah

A’uudzubillaahiminasysyaithaanirrajiim

Bismillahirrahmaanirrahiim

Alhamdulillaahi rabbil ‘aalamiin,
Arrahmaanirrahiim
Maaliki yaumiddiin,
Iyyaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin,
Ihdinashirratal mustaqiim,
Shiratalladzina an’amta alaihim ghairil maghduubi ‘alaihim waladhaaliin

Aamiin

Bismillaahirrahmaanirrahiim

Alhamdulillaahirabbil ‘aalamiin, hamdan yuwaafi ni’amahu, wa yukafi mazidahu, ya rabbana lakal hamdu. Kama yanbaghi lii jalaali wajhika, wa ‘azhiimi sulthaanika.

Allaahumma shalli wa sallim wa baarik, ‘alaa Sayyidinaa wa Nabiyyinaa wa Maulaanaa wa Maulaanaa Muhammadin wa ikhwaanihii minal anbiyaa-i wal mursaliin, wa azwaajihim wa aalihim wa dzurriyyaatihim wa ash-haabihim wa ummatihim ajma’iin.

ALLAAHUMMAFTAHLII HIKMATAKA WANSYUR ‘ALAYYA MIN KHAZAA INI RAHMATIKA YAA ARHAMAR-RAAHIMIIN.

RABBI INNII LIMAA ANZALTA ILAYYA MIN KHAIRIN FAQIIR.

RABBI LAA TADZARNI FARDAN WA ANTA KHAIRUL WAARITSIN.

Rabbana hablana min azwaajina, wa dzurriyyatina qurrata a’yuniw, waj’alna lil muttaqiina imaamaa.

Allaahummaghfirlii waliwaalidayya war hamhumaa kama rabbayaanii shagiiraa

Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada keturunanku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri. (QS. Al-Ahqaaf: 15).

Ya Allaah, terimalah amal saleh kami, ampunilah amal salah kami, mudahkanlah urusan kami, lindungilah kepentingan kami, ridhailah kegiatan kami, angkatlah derajat kami dan hilangkanlah masalah kami.

Ya Allaah, percepatlah kebangkitan INDONESIA. Pulihkanlah kejayaan INDONESIA, Lindungilah INDONESIA dari bencana.

Ya Allaah, jadikanlah INDONESIA baldatun thayyibatun wa rabbun ghafuur.

Allaahumma innaa nas’aluka salaamatan fiddiini waddun-yaa wal akhirati wa ’aafiyatan fil jasadi wa ziyaadatan fil ‘ilmi wabarakatan firrizqi wa taubatan qablal mauti, wa rahmatan ‘indal mauti, wa maghfiratan ba’dal maut. Allahuma hawwin ‘alainaa fii sakaraatil mauti, wannajaata minannaari wal ‘afwa ‘indal hisaab.

Allaahumma inna nas aluka husnul khaatimah wa na’uudzubika min suu ul khaatimah.

Allaahuma inna nas’aluka ridhaka waljannata wana’uudzubika min shakhkhatika wannaar.

Allaahummadfa’ ‘annal balaa-a walwabaa-a walfahsyaa-a wasy-syadaa-ida walmihana maa zhahara minhaa wamaa bathana min baladinaa haadzaa khaash-shataw wamin buldaanil muslimuuna ‘aammah.

Allaahumma ahlikil kafarata walmubtadi-‘ata walmusyrikuun, a’daa-aka a’daa-ad diin.

Allaahumma syatttit syamlahum wa faariq jam-‘ahum, wazalzil aqdaamahum.

Allaahumma adkhilnii mudkhala shidqiw wa-akhrijnii mukhraja shidqiw waj-‘al lii milladunka sulthaanan nashiiraa.

——(doa khusus untuk PROKLAMATOR SOEKARNO / BUNG KARNO & MOHAMMAD HATTA / BUNG HATTA, semoga Allaah selalu mencurahkan kasih sayang kepada mereka).

ALLAAHUMMAGHFIRLAHUM WARHAMHUM WA’AAFIHIM WA’FU ‘ANHUM
ALLAAHUMMA LAA TAHRIMNAA AJRAHUM WA LAA TAFTINNAA BA’DAHUM WAGHFIRLANAA WALAHUM
———————

Rabbanaa aatinaa fiddun-yaa hasanataw wa fil aakhirati hasanataw wa qinaa ‘adzaabannaar wa adkhilnal jannata ma’al abraar.

Rabbanaa taqabbal minna innaka antassamii’ul aliimu wa tub’alainaa innaka antattawwaaburrahiim. Washshalallaahu ‘alaa sayyidinaa wa nabiyyinaa wa maulaanaa muhammadin wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa ummatihi wa baraka wassallam.

HASBUNALLAAH WANI’MAL WAKIIL NI’MAL MAULA WANI’MAN NASHIIR.

Subhana rabbika rabbil ‘izzati, ‘amma yasifuuna wa salamun ‘alal anbiyaa-i wal
mursaliin, walhamdulillahirabbil ‘aalamiin.

Aamiin yaa Allaah yaa rabbal ‘aalamiin.


Indra Ganie – Bintaro Jaya, Tangerang Selatan, Banten

delete 27 Mei 2015 pukul 09.00
avatar
Anonim

PERBAIKAN :

Tertulis :

ALLAAHUMMAGHFIRLAHUM WARHAMHUM WA’AAFIHIM WA’FU ‘ANHUM
ALLAAHUMMA LAA TAHRIMNAA AJRAHUM WA LAA TAFTINNAA BA’DAHUM WAGHFIRLANAA WALAHUM

Ini doa untuk lebih 2 orang.

Seharusnya :

ALLAAHUMMAGHFIRLAHUMAA WARHAMHUMAA WA’AAFIHIMAA WA’FU ‘ANHUMAA
ALLAAHUMMA LAA TAHRIMNAA AJRAHUMAA WA LAA TAFTINNAA BA’DAHUMAA WAGHFIRLANAA WALAHUMAA

Aamiin yaa Allaah yaa rabbal ‘aalamiin.


Indra Ganie – Bintaro Jaya, Tangerang Selatan, Banten

Ini doa untuk 2 orang lelaki yaitu SOEKARNO / BUNG KARNO & MOHAMMAD HATTA / BUNG HATTA.

delete 27 Mei 2015 pukul 09.50



sentiment_satisfied Emoticon