Anda tentunya telah mendengar atau
menyaksikan dari berita-berita dan bahkan mengunjungi secara langsung
Museum Lilin Madame Tussaud. Ternyata kurang lebih seratus tahun yang
lalu di Jakarta pernah ada semacam “museum” lilin seperti Museum Lilin
Madame Tussaud (loh kok baru tahu).
Ternyata cerita ini berdasarkan dari
sebuah kesimpulan seorang koresponden Tabloid Intisari terbitan Februari
1975. Ceritanya begini, saat itu si penulis berita sedang
asyik-asyiknya mebolak-balik kan katalog di Perpustakaan Museum Pusat,
dan kemudian tertarik pada sebuah buku berjudul “Karangan Perdjalanan Ke Betawi” yang ditulis oleh Mas Soetama, goeroe sekolah kelas 1 di Pasoeroehan, diterbitkan tahun 1903 oleh Landsdrukkerij – Batavia (sekarang Balai Pustaka).
Dari buku tersebut, Mas Soetama
melaporkan satu persatu kunjungannya ke berbagai tempat yang patut
dilihat untuk menambah bekal pengetahuannya sebagai seorang guru,
diantaranya mengunjungi sebuah “museum” lilin di Betawi.
Kutipan tulisan dalam bahasa aslinya seperti berikut ini:
“Maka hamba berhenti melihat pertoenjoekan Panopticum serta boneka lilin (Panopticum en wassen bielden) jang empoenya pertoenjoekan itoe seorang perempoean Inggris, bernama njonjah A. Simons, tempatnja di Kampoeng Pintoe Besar.Maka jang dipertoenjoekan di sitoe : beberapa boneka yang diperboeat daripada lilin, elok dan bagoes perboetannja, sehingga sekalian itoe kelihatan betoel sebagai oerang perlihatan jang dipertoenjukkan di sitoe oempama : patoeng Kaizer Wilhelm I, waktoe hendak mangkat. Adjaib benar patoeng itoe dapa bernafas sebagai orang yang menazah, koeroes dan poetjat moekanya, seperti orang jang sakit. Lain dari itoe adalah banjak poela boneka jang dipertoenjoekkan, dengan ditjeritakan joega halnja dengan singkat, jaitoe : patoeng Judith, Maria magdalena, Njonjah A.F. Dudley dan lain-lain.Adalah djoega dipertoenjoekan segala bahagian toeboeh dan toelang dan daging, dan isi peroet manoesia semoeanja diperboeat dari lilin. Maka sebeloem hamba keloear dari tempat perlihatan itoe, hamba melihat djoega panorama jaitoe gambar-gambar jang dilihat dengan katja, jaitoe gambar daripada peperangan, pemboenoehan dan lain-lain sebagainja.”
Dari kutipan di atas ini kita bisa
berkesimpulan bahwa seabad yang lalu Jakarta dari dulu adalah sebuah
kota yang maju dan modern. Si penulis kisah perjalanan ini bahkan
“terhairan-hairan” melihat hal-hal baru yang dilihatnya. Bagaimana
seandainya Justine Bieber dulu saat jaman itu sudah terkenal seperti
saat ini? Mungkin juga sudah dituliskan dalam buku tersebut.