Importir Film Tunggak Royalti sejak 1995
JAKARTA, KOMPAS.com — Hasil audit yang dilakukan pemerintah pada
2010 menunjukkan bahwa seluruh importir film menunggak bea masuk atas
hak royalti dan bagi hasil sejak tahun 1995. Atas dasar itu, Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai sudah menyampaikan surat tagihan kepada importir
film, tetapi hingga saat ini belum ada penyelesaian.
”Akan tetapi, karena ini menyangkut informasi yang bersifat pribadi pada
perusahaan-perusahaan yang mengimpor film itu, jumlah tunggakan
royaltinya tidak bisa kami publikasikan. Jika mereka (importir) tidak
bersedia membayar, itu hak mereka. Kami menunggu laporan mereka tentang
mengapa tidak setuju dengan tagihan itu,” ujar Direktur Teknis
Kepabeanan Heri Kristiono di Jakarta, Senin (21/2/2011).
Menggunakan aturan WTO
Menurut Heri, tidak ada kebijakan baru atau perubahan tarif bea masuk
atas film impor. Pemerintah masih menggunakan Perjanjian Penilaian
Organisasi Perdagangan Dunia (WTO Valuation Agreement). Perjanjian ini
sudah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 dan diadopsi
pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995. Undang-undang tersebut sudah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan, yang
mengatur nilai pabean.
”Dalam aturan itu ditegaskan bahwa bea masuk dapat dibebankan pada harga
cetak salinan film yang diedarkan, hak royalti (yang dibayar importir
kepada produsen film di luar negeri), dan bagi hasil (antara importir
film dan produsen film). Itu sudah sesuai dengan WTO Valuation
Agreement,” ujarnya.
Namun, ujar Heri, berdasarkan hasil audit yang dilakukan pada 2010,
diketahui bahwa importir film itu hanya membayar bea masuk berdasarkan
harga cetak salinan film. Sementara bea masuk atas dasar hak royalti dan
bagi hasil sama sekali belum dibayar. Dengan demikian, muncul kurang
bayar (tunggakan) bea masuk atas hak royalti dan bagi hasil sejak tahun
1995.
Besar tarif yang diberlakukan dalam penagihan bea masuk, baik atas harga
cetak salinan film, hak royalti, maupun bagi hasil, sebesar 10 persen.
Sementara tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10 persen dan tarif Pajak
Penghasilan (PPh) Pasal 22 impor sebesar 2,5 persen.
Sementara itu, penataan film di Indonesia dengan menurunkan pajak
produksi film dalam negeri dan menaikkan pajak film impor ditargetkan
selesai dalam satu bulan mendatang. Menteri Kebudayaan dan Pariwisata
Jero Wacik menegaskan hal tersebut di sela-sela rapat kerja pemerintah
di Bogor. (OIN/WHY)
sumber : kompas
250 Film Impor Tunggak Rp 30 Miliar
JAKARTA, KOMPAS.com — Sembilan importir film yang membawa masuk 250
judul ke Indonesia dalam dua tahun terakhir ini menunggak pajak dan bea
masuk Rp 30 miliar, belum termasuk denda. Jumlah tunggakan akan
membengkak karena denda atas keterlambatan pembayarannya bisa mencapai
1.000 persen dari pokok tunggakan.
Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengungkapkan hal itu di Jakarta, Kamis (24/2/2011).
Menurut Agus, bagian yang harus diperjelas adalah masalah penetapan
nilai pabean film impor. Selama ini importir hanya menetapkan nilai
pabean atas dasar panjang rol film, yakni 0,43 dollar AS per meter. Itu
yang menjadi dasar pengenaan bea masuk, pajak pertambahan nilai (PPN),
dan pajak penghasilan (PPh) Pasal 22.
Padahal, sebagai sebuah karya cipta, film memiliki keunikan dibandingkan
dengan barang lain. Selain membayar ketiga pungutan tadi, importir film
juga harus memperhitungkan nilai pabean yang didasarkan atas hak
ciptanya, yakni royalti yang dibayarkan kepada produsen film di luar
negeri. Atas dasar ini, importir dikenai lagi bea masuk sebesar 10
persen, PPN 11 persen, dan PPh Pasal 26 sebesar 2,75 persen, atau total
23,75 persen.
”Jika perhitungan pungutan itu hanya didasarkan atas panjangnya rol
film, satu judul film hanya menyetor Rp 13 juta per salinan film.
Padahal, satu film bisa mencapai 60.000 dollar AS,” kata Agus.
Dirjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Thomas Sugijata mengatakan,
sebelumnya, Badan Pertimbangan Perfilman Nasional melaporkan ada 52
judul film paling laris yang beredar di Indonesia pada periode
2009-2010. Seluruhnya diperbanyak menjadi 1.780 salinan film sehingga
total pembayaran royalti pada periode itu mencapai Rp 570 miliar.
”Namun, dalam audit yang di lakukan, sebenarnya ada 250 judul film yang
masuk, baik yang box office (film laris) maupun film biasa. Hasil audit
menunjukkan adanya tunggakan Rp 30 miliar, belum termasuk dendanya,”
tutur Thomas. (OIN)
sumber : kompas