Teknologi Film 3D, Kesia-siaan Terbesar Dalam Sejarah Film.
Teknologi 3D bisa dikatakan sangat ‘heboh’. Pembuat film berlomba-lomba
memanfaatkannya. Namun, teknologi tersebut merupakan kesia-siaan
terbesar dalam sejarah film.
Nilai tambah dari teknologi 3D pada film sangat sedikit, bahkan membuat penontonnya merasa sakit. Tiap film blockbuster direkam menggunakan format ini, termasuk Harry Potter and The Deathly Hallows: Part 2 dan The Dark Knight Rises and The Hobbit.
Teknologi ini sendiri membuat bioskop mematok harga 40% lebih mahal dari harga tiket normal. Contohnya, tiket keluarga untuk menonton film Gulliver’s Travels di rangkaian bioskop Odeon di Inggris saja berharga 25,20 poundsterling (Rp358 ribu) sementara untuk versi 3D dihargai 35,6 poundsterling (Rp511 ribu).
Semua fenomena ini berawal saat Avatar muncul. Film spektakuler 3D James Cameron inilah yang menjadi biang keladinya. Karena film ini, semua film Hollywood pun menggunakan teknologi 3D. Ironisnya seperti dikutip Daily Mail, banyak film 3D tak benar-benar merupakan 3D, kata Chris Tookey dari media Inggris itu.
Bahkan merujuk pada sifat kamera 3D, rekaman video yang dihasilkan cenderung lebih diam dibanding rekaman hasil kamera 2D. Namun, tak dapat disangkal bahwa kamera 3D memang mengesankan. Misalnya pada film ‘How to Train Your Dragon’ yang memang benar-benar menarik secara visual.
Namun, apakah teknologi ini benar-benar begitu besar sehingga segala sesuatu menjadi mirip karena terdistorsi? Kesia-siaan yang lebih lagi adalah, film 2D yang dikonversi menjadi film kualitas rendah 3D palsu.
Jadi mengapa teknologi 3D seperti mendapat nama buruk? Banyak orang mengeluh sakit kepala setelah duduk menonton film-film berteknologi ini. Bahkan, beberapa orang merasa mual. Alasannya sederhana.
Biasanya, para penonton akan fokus pada layar yang, katakanlah, jauhnya 18 meter. Namun, ketika 3D memberi kesan gambar muncul keluar dari layar, hal itu membuat penonton fokus secara bersamaan pada ilusi yang jauhnya 3, 6 dan 12 meter. Studi telah menunjukkan bahwa hal ini menyebabkan gerakan mata yang tak wajar yang membuat mata tertekan.
Ketika Avater muncul pertama kalinya, banyak laporan menyatakan penonton bioskop muntah-muntah dan pingsan. Ketidaknyamanan ini diperparah oleh berat kacamata 3D, apalagi jika Anda sudah memakai sepasang kacamata. Terlebih, saat gambar 3D meredup, warna akan tampak lebih gelap.
Hal ini tak begitu banyak menimbulkan masalah pada film-film yang memang dirancang untuk 3D. Namun, pada film 2D yang ditampilkan pada 3D, hal ini akan menjadi bencana. Bahkan, pada beberapa film 3D, sebagian besar film itu mendekati kegelapan dan hal itu membuat film menjadi kotor dan menyebabkan depresi.
Masalah lainnya, kebanyakan 3D tak realistis dalam cara menciptakan kedalaman perspektif. Di beberapa film, pasca produksi 3D hanya mengubah gambar menjadi serangkaian 2D, aktor datar di latar depan dan latar dibuat rata. Pada sinematografi 2D yang balik, sebaliknya, ilusi kedalaman dan perspektif diciptakan ringan untuk mata.
Tren 3D berarti, menggantikan untuk menyakinkan ilusi kedalaman film, penonton diberi trik visual yang bisa keluar dan melompat ke arah kita yang anehnya, hal itu tak realistis. Namun dengan sedikit keberuntungan, tak satupun film yang bisa ditingkatkan saat ditampilkan dalam 3D.
Pergi ke bioskop seharusnya lebih dari sensasi visual belaka. Anda seharusnya bisa tertawa atau menangis. Anda harus berpikir dan merasakan hal-hal yang belum pernah rasakan sebelumnya. “Dan teknologi 3D sama sekali tak membantu”.
Bahkan, para resensi Amerika paling terkenal, termasuk Roger Ebert dari Chicago Sun-Times pun mengutuk 3D sebagai hal yang ‘mengganggu, menjengkelkan, kekejian anti-realistis, menggunakan remaja sebagai alasan harga yang lebih tinggi’.
Namun pada akhirnya, keputusan tetap pada jutaan penonton bioskop apakah mereka akan tetap menonton film berteknologi 3D ini atau beralih ke 2D.
Nilai tambah dari teknologi 3D pada film sangat sedikit, bahkan membuat penontonnya merasa sakit. Tiap film blockbuster direkam menggunakan format ini, termasuk Harry Potter and The Deathly Hallows: Part 2 dan The Dark Knight Rises and The Hobbit.
Teknologi ini sendiri membuat bioskop mematok harga 40% lebih mahal dari harga tiket normal. Contohnya, tiket keluarga untuk menonton film Gulliver’s Travels di rangkaian bioskop Odeon di Inggris saja berharga 25,20 poundsterling (Rp358 ribu) sementara untuk versi 3D dihargai 35,6 poundsterling (Rp511 ribu).
Semua fenomena ini berawal saat Avatar muncul. Film spektakuler 3D James Cameron inilah yang menjadi biang keladinya. Karena film ini, semua film Hollywood pun menggunakan teknologi 3D. Ironisnya seperti dikutip Daily Mail, banyak film 3D tak benar-benar merupakan 3D, kata Chris Tookey dari media Inggris itu.
Bahkan merujuk pada sifat kamera 3D, rekaman video yang dihasilkan cenderung lebih diam dibanding rekaman hasil kamera 2D. Namun, tak dapat disangkal bahwa kamera 3D memang mengesankan. Misalnya pada film ‘How to Train Your Dragon’ yang memang benar-benar menarik secara visual.
Namun, apakah teknologi ini benar-benar begitu besar sehingga segala sesuatu menjadi mirip karena terdistorsi? Kesia-siaan yang lebih lagi adalah, film 2D yang dikonversi menjadi film kualitas rendah 3D palsu.
Jadi mengapa teknologi 3D seperti mendapat nama buruk? Banyak orang mengeluh sakit kepala setelah duduk menonton film-film berteknologi ini. Bahkan, beberapa orang merasa mual. Alasannya sederhana.
Biasanya, para penonton akan fokus pada layar yang, katakanlah, jauhnya 18 meter. Namun, ketika 3D memberi kesan gambar muncul keluar dari layar, hal itu membuat penonton fokus secara bersamaan pada ilusi yang jauhnya 3, 6 dan 12 meter. Studi telah menunjukkan bahwa hal ini menyebabkan gerakan mata yang tak wajar yang membuat mata tertekan.
Ketika Avater muncul pertama kalinya, banyak laporan menyatakan penonton bioskop muntah-muntah dan pingsan. Ketidaknyamanan ini diperparah oleh berat kacamata 3D, apalagi jika Anda sudah memakai sepasang kacamata. Terlebih, saat gambar 3D meredup, warna akan tampak lebih gelap.
Hal ini tak begitu banyak menimbulkan masalah pada film-film yang memang dirancang untuk 3D. Namun, pada film 2D yang ditampilkan pada 3D, hal ini akan menjadi bencana. Bahkan, pada beberapa film 3D, sebagian besar film itu mendekati kegelapan dan hal itu membuat film menjadi kotor dan menyebabkan depresi.
Masalah lainnya, kebanyakan 3D tak realistis dalam cara menciptakan kedalaman perspektif. Di beberapa film, pasca produksi 3D hanya mengubah gambar menjadi serangkaian 2D, aktor datar di latar depan dan latar dibuat rata. Pada sinematografi 2D yang balik, sebaliknya, ilusi kedalaman dan perspektif diciptakan ringan untuk mata.
Tren 3D berarti, menggantikan untuk menyakinkan ilusi kedalaman film, penonton diberi trik visual yang bisa keluar dan melompat ke arah kita yang anehnya, hal itu tak realistis. Namun dengan sedikit keberuntungan, tak satupun film yang bisa ditingkatkan saat ditampilkan dalam 3D.
Pergi ke bioskop seharusnya lebih dari sensasi visual belaka. Anda seharusnya bisa tertawa atau menangis. Anda harus berpikir dan merasakan hal-hal yang belum pernah rasakan sebelumnya. “Dan teknologi 3D sama sekali tak membantu”.
Bahkan, para resensi Amerika paling terkenal, termasuk Roger Ebert dari Chicago Sun-Times pun mengutuk 3D sebagai hal yang ‘mengganggu, menjengkelkan, kekejian anti-realistis, menggunakan remaja sebagai alasan harga yang lebih tinggi’.
Namun pada akhirnya, keputusan tetap pada jutaan penonton bioskop apakah mereka akan tetap menonton film berteknologi 3D ini atau beralih ke 2D.